Senin, 30 Juli 2012

Pendidikan Seni Indonesia



Seni adalah bagian dari kehidupan yang tak bisa terlepaskan. Berkesenian berarti memberikan makna akan kehidupan. Seni tak akan pernah lepas dari pengaruh lingkungan dan kondisi sosial yang ada. Maka jenis dan model penerapan seni yang ada di suatu daerah pastinya berbeda dengan daerah yang lainnya. Kehidupan anak bangsa ini jauh lebih erat dengan seni dan budayanya dibanding dengan teknologi yang belakangan marak.

Ini bukan berarti teknologi harus ditinggalkan, karena teknologi juga memiliki dampak positif terhadap perkembangan bangsa ini (di samping dampak-dampak negatifnya). Namun, sebaliknya, mengapa kehidupan berkesenian kini semakin terasa sulit saja? Memang, terlihat sudah banyak apresiasi seni dan budaya yang belakangan sering dilakukan. Ini sebenarnya membuktikan bahwa seni sebenarnya sangat diminati oleh sebagian besar bangsa Indonesia. Tapi di sini pemerintah hanya menjadi fasilitornya saja, sedangkan para pelaku seni tetap harus membiayai sendiri apresisi seni yang mereka lakukan.

Pendidikan Indonesia sering kali hanya menjadikan seni sebagai pendidikan alternatif. Seni tidak termasuk dalam penjurusan di tingkat SMU. Barulah di tingkat perkuliahan kita mendapatkan seni sebagai salah satu bidang studi. Sedang pemerintah hingga kini belum menyediakan sekolah kejuruan untuk bidang seni dan budaya. Minat seni yang besar di masyarakat hanya bisa terobati dengan adanya ekstrakulikuler atau kursus tambahan di luar sekolah yang diselenggarakan oleh pihak swasta alias tanpa campur tangan pemerintah.

Sekilas, kebebasan berekspresi seni menjadi begitu terjamin, namun ternyata justru banyak sekali  kasus (pornografi) yang marak di masyarakat kita yang mengatasnamakan seni. Akibat ketiadaan campur-tangan pemerintah, kegiatan berkesenian menjadi begitu absurd batasan-batasannya. Kita lupa bahwa bangsa kita adalah bangsa yang beradab, yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika. Di sini, campur tangan pemerintah yang diharapkan adalah campur yangan yang mendidik secara terarah dan beretika tanpa melepaskan kebebasan berekspresi dalam berkesenian.

Kebanyakan dari kita mengetahui seni hanyalah sebatas musik, tari, lukis, dan film. Itu pun yang diketahui kebanyakan yang berbau kebarat-baratan. Sedangkan seni murni yang berasal dari negeri ini hanya sedikit yang mengetahui. Sudah sedemikian parahnya kondisi bangsa ini. Mengaku cinta tanah air atau mengaku bertanah air Indonesia, tapi produk budaya bangsanya sendiri jarang yang tau.

Maka tidak heran jika berkali-kali sejumlah jenis kesenian yang berasal dari salah satu daerah di Indonesia diakui oleh negara lain. Namun mengapa baru timbul kesadaran setelah bencana terjadi? Mengapa tidak dari dahulu saja melakukan pelestarian budaya bangsa ini –salah satunya dengan mendirikian sekolah khusus seni dari tingkat menengah, bukan hanya di tingkat tinggi atau menjadi ekstrakurikuler–?

Banyaknya ragam seni yang berasal dari Indonesia yang diakui negara tetangga dengan mudahnya menunjukkan bahwa masih sangat lemahnya apresiasi pemerintah Indonesia terhadap beragam seni yang ada di Indonesia. Selain melalui pendidikan, pelestarian dan apresiasi budaya bangsa Indonesia juga  dapat ditempuh melalui sistem kontrol yang dilakukan oleh pihak pemerintah. Sejarah bangsa yang sudah banyak dimanipulasi sudah saatnya janganlah didiamkan saja. Pemerintah mungkin bisa saja melibatkan seluruh lapisan masyarakat untuk pelestarian budaya seni ini. Namun tetap saja peranan pemerintah sebagai fungsi pengendali (bukan pengekang) tetaplah diperlukan.

Sementara ini pemerintah belum memberikan jaminan kepada para pelaku seni akan kehidupan berkesenian yang mereka lakukan. Para pelaku seni hanya mengandalkan kemampuan dan modal yang mereka miliki saja untuk melakukan apresisasi seninya. Di sinilah salah satu hal yang menyebabkan mengapa para pelaku seni menjadi begitu lemah di hadapan pemerintah serta harus berjuang ekstra keras untuk keberlangsungan kehidupan berkeseniannya. Dan di sinilah peranan pemerintah sangatlah dibutuhkan.

Pemerintah jangan lagi memandang sebelah mata hal-hal yang dianggap kurang menguntungkan. Pemerintah juga janganlah hanya melihat secara makro dan hasilnya terlihat langsung, tapi juga lihatlah secara mikro dan hasilnya tidak langsung namuan cenderung berkesinambungan, karena jika yang mikro ini dikumpulkan, maka hasilnya akan jauh lebih kuat dan lebih besar daripada yang makro. Dari pada keuangan pemerintah sia-sia terbuang begitu saja di meja korupsi, bukankah sebaiknya disalurkan saja untuk hal yang dijamin tidak akan sia-sia –bahkan menguntungkan– seperti untuk penyaluran apresiasi seni dari para pelaku seni?

Kegiatan berkesenian cenderung hanya akan mendapatkan bantuan –dari pemerintah atau pun swasta– jika kegiatan berkesenian itu memberikan keuntungan finansial bagi pihak-pihak yang membantu. Mungkin jika dalam hal ini adalah pihak swasta, maka sah-sah saja. Namun adalah suatu keanehan yang tidak boleh diulangi lagi jika ternyata yang berlaku seperti ini justru berasal dari pihak pemerintah. Mengapa justru pemerintah kita justru malah menjadi money oriented saja kelakuannya? Seperti orang yang tidak beriman, yang tidak percaya bahwa esok pasti masih ada rezeki selama kita masih hidup.

Pada kenyataanya, jika pemerintah benar-benar mau konsen terhadap kehidupan berkesenian di Indonesia serta mau berpikir jauh ke depan akan kehidupan berkebangsaan ini, maka sebenaranya –baik secara langsung mau pun tidak langsung– akan memberikan keuntungan terhadap pemerintah kita. Cobalah perhatikan secara seksama, bahwa ternyata, kepulauan di Indonesia yang paling diminati sebagai tujuan wisata adalah pulau Bali.

Ada apa dengan pulau Bali? Banyak orang yang merasa nyaman dengan pulau Bali karena budaya masyarakat setempatnya yang ramah dan baik. Namun kebanyakan wisatawan asing menyatakan bahwa selain murah, mereka senang berlibur ke Bali karena di Bali dalam kehidupan kesehariannya banyak dilakukan upacara-upacara yang berkesenian yang sebenarnya adalah upacara adat budaya bali itu sendiri.

Memang, daerah-daerah lain kadang juga ada upacara-upacara adat seperti ini, namun hanya di bali lah yang dilakukan secara komprehensif dari bangun tidur sampai tidur lagi terus-menerus setiap hari. Produk kesenian di Indonesia terbanyak juga berasal dari Bali. Mayoritas bagunan-bangunan di bali pun memiliki corak khas budaya bali. Hal ini juga jarang ditemukan di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Segala aspek yang berbau Bali pun sangat di minati seluruh penduduk dunia. Bahkan beberapa waktu yang lalu dikabarkan bahwa hasil karya kerajinan masyarkat bali dicontek oleh salah satu merk perhiasan ternama di dunia.

Di satu sisi, ini adalah teguran untuk pemerintah kita agar melakukan fungsi kontrol (perlindungan) terhadap apresiasi berkesenian yang dilakukan oleh bangsanya. Jika dari awal sudah diberikan jaminan perlindungan berupa hak paten yang diusahakan oleh pemerintah, bukan oleh pengrajin, maka justru negara ini akan menghasilkan devisa negara yang demikian besarnya dari berbagai produk kesenian yang ada di negeri ini. Sehingga negara ini tidak lagi dicap sebagai penghasil devisa berasal dari babu. Bukankah dengan ini justru akan menaikkan derajat dan martabat bangsa di mata dunia?

Seandainya kehidupan berkesenian yang dilakukan secara komprehensif –seperti yang ada di bali– disertai dengan jaminan perlindungan dan pengembangan juga di terapkan di daerah-daerah lainnya di Indonesia, maka pastinya akan menghasilkan devisa negara yang lauh lebih besar lagi karena besar kemungkinan daerah tujuan wisata favorit tidak hanya terfokus di bali saja dan hasil kerajinan di daerah yang lain akan dapat semakin dikembangkan. Pemerintah jangan lagi terfokus pada hal-hal yang membuahkan hasil dalam jangka waktu yang singkat karena hal-hal yang seperti ini pun juga akan bertahan sebentar jika ditelantarkan.

Namun pemerintah juga harus memperhatikan hal-hal yang akan membuahkan hasil dalam jangka waktu panjang dan dapat bertahan lama bagi perekonomian seperti apresisai seni dan budaya. Kalau ternyata sudah begitu banyak bukti yang menguntungkan dari kegiatan berkesenian, maka mengapa tetap ditelantarkan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar